Biography / Memoir, Non Fiction

And… He’s Still Unbroken

Judul : Unbroken : A World War II Story of Survival, Resilience, and Redemption

Penulis : Laura Hillenbrand

Genre : Biografi

Terbit : 2010

Unbroken: A World War II Story of Survival, Resilience, and Redemption

Oke, jadi saya ini… bukan pembaca pintar yang kritis, bukan juga pembaca yang bisa menganalisa sesuatu dengan baik, bukan pembaca non fiksi. Sejauh ini saya adalah pembaca fiksi yang suka dengan beberapa genre dan tidak suka dengan cerita cinta remaja. Saya adalah pembaca biasa, bahkan mungkin bagi beberapa orang, saya bukan pembaca beneran.

Dari dulu, saya paling susah nyambung sama yang namanya buku non fiksi. Bisa dihitung menggunakan satu tangan, jumlah buku non fiksi di luar pelajaran yang saya baca. Seperti yang saya bilang, saya bukan pembaca pintar, bisa tahan membaca suatu buku yang kering kerontang sama drama.

Louis Zamperini

This Unbroken thing… is actually just a test drive. Penasaran sama yang namanya film Unbroken, saya jadi ikut penasaran pengen baca bukunya yang ditulis sama Laura Hillenbrand. Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, bahwa buku ini ternyata mampu membuat saya kaget setengah mati. Saya bahkan masih tidak percaya bahwa ini buku non fiksi.

Sebuah biografi ini menceritakan tentang kehidupan Louis Zamperini. Louis Zamperini adalah seorang atlit lari Olimpiade pada saat zaman perang dunia ke II. Akibat perang, Louis Zamperini ikut membela negaranya, Amerika, dan menjadi tentara perang. Louis adalah seorang bomber hebat yang dimiliki oleh Amerika.

Jujur deh, awalnya buku ini memang membosankan. Ketika Laura Hillerbrand memulai cerita dengan memaparkan karir marathon Louis, saya memang kurang bersemangat dengan buku ini. Ditambah lagi dengan banyaknya rekor-rekor lari yang dijabarkan, rasanya memang non fiksi banget. Ketika hidup Louis berubah dan terjun (terpaksa terjun) ke medan perang, buku ini mulai berasa fiksi. Serius, kadang saya merasa cerita Louis dan teman-temannya yang bertahan hidup selama 47 hari di atas perahu penyelamat itu sebuah cerita fantasi. Bahkan saya pernah membayangkan kalau mereka akhirnya dimakan naga di tengah laut.

Buku ini sadis, yah walaupun memang kita sudah sering mendengar cerita tentang perang dunia II baik dari pelajaran sejarah waktu sekolah dulu atau sering membaca tentang hal ini di novel-novel historical fiction, baru buku ini yang membuat saya merinding setengah mati membayangkan bagaimana Louis bertahan hidup dan tetap waras dalam kondisi yang gila seperti itu. Serangan bom yang menyerang lokasi POW Louis pada suatu malam, suara sirine, suara orang-orang berteriak-teriak, bikin merinding. Membayangkan bagaimana Louis dan Phil (pilot B-24 dan juga sahabat Louis) serta Mac yang terombang ambing di lautan, tidak ada air untuk diminum, dikelilingi hiu-hiu, dan harus memakan ikan mentah saking tidak adanya yang dimakan (mentah…) bikin mual. Membayangkan bagaimana para tahanan Amerika yang disiksa, dipukul habis-habisan kalau melanggar aturan, dihina, diinjak-injak, bahkan mereka rela disiksa buat dapatin seonggok nasi, membayangkannya bikin sakit kepala.

“ We just sat there and watched the plane pass the island,and it never came back, “ he said. “ I could see it on the radar. It makes you feel terrible. Life was cheap in war.”

Jack O’Connel as Louis Zamperini in Unbroken (2014)

Tentu saja, gejala-gejala merinding, mual, sakit kepala yang saya rasakan itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh penulis, Laura Hillenbrand. Walaupun saya tahu pada akhirnya Louis Zamperini akan bertahan tetap hidup setelah perang berakhir, namun saya tetap tanpa sadar ketakutan dan diam-diam  menyemangati Louis untuk selamat. Mungkin ini, perbedaan yang tampak nyata antara film dan buku. Saat saya membaca bukunya, saya sadar bahwa yang say abaca ini non fiksi, namun ceritanya membuat saya tertarik seakan-akan saya membaca fiksi. Sedangkan kalau filmnya, ayolah… saya rasa Angelina Jolie bisa lebih dari itu. Filmnya bagus sih… tapi rasa merinding, mual, sakit kepala tidak saya rasakan ketika menontonnya. Mungkin karena kurang sentuhan trivia-trivia yang diberikan Laura, kurang sentuhan emosional para keluarga tentara yang diceritakan Laura, dan mungkin juga karena banyak adegan yang tidak dimasukkan, seperti kehidupannya Phil, kisah tentara Jepang yang jahat dan menyiksa para tawanannya, kisah tentara Jepang yang ternyata tidak semuanya jahat, dan tentang pemberontakan-pemberontakan kecil para tawanan yang membuat saya senang ketika membacanya. Walaupun begitu, saya tetap kasih jempol untuk filmnya, dan tetap kasih penutup mata dan kapas buat nyumpal telinga ke anak-anak yang mau menontonnya. Film dan buku sama-sama hardcorenya.

Unbroken, saya rela kasih sepuluh bintang kalau perlu. Setelah membaca buku ini, saya mendapati diri saya heboh menyuruh teman-teman saya setidaknya menonton filmnya. Saking sukanya saya dengan buku ini, bahkan saya membaca sampai habis ucapan terima kasih Laura Hillenbrand. Saking sukanya dengan buku ini, buku yang saya baca sekarang jadi jelek setengah mati. Saking sukanya dengan buku ini, saya yakin review saya ini belum sepenuhnya menggambarkan seluruh isi hati saya mengenai buku ini. Padahal… Unbroken adalah sebuah buku non fiksi. Well, shit just get real, everybody…!

“Dignity is as essential to human life as water, food, and oxygen. The stubborn retention of it, even in the face of extreme physical hardship, can hold a man’s soul in his body long past the point at which the body should have surrendered it.”